Dikutip : http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=10
Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan
perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan
sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari
hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah
diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama
bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak
bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu
dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadapa
apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam.
Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak
yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu
fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian,
kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian
itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol
dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam,
maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang dmeikian
itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk
"memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai
tersebut.
Makna Politik Islam
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan
seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah
hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali
al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).
Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang
menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.
Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca:
pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat
disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme
keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan
istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah
perjuangan, serta wacana politik.
Hakikat Politik Islam
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture)
yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya
politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah,
bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan
komunitas spiritual Islam.
Dilema Politik Islam
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di
Indonesia sering berada pada posisi delematis. Dilema yang dihadapi
menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara
deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik
yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai
akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis
yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya.
Pertama, strategi akomodatif justifikatif terhadap
kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan
konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat
Islam.
Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak
dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn
sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu
kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan
oleh pihak lain.
Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu
mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis
terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam.
Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu
sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada
posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian
Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam
mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui
perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan
kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak
selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok
Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan
menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI
atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut
menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong
mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".
Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang
kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam
dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam
pengendalian kelompok Islam.
Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada
pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber
kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan
politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi
(M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin
mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2.
Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan
politik lain.
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan
untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan
oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan
politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering
mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal
yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik.
Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar
dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat
teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam.
Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi
perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia
yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
Problema Politik Islam
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan
umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses
islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta
perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga
menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan
kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu
kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya
partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang
berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang
berbasis dukungan umat Islam.
Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau
partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan
Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat
Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai
Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya.
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat
Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman
kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan
buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses
reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi
warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun
telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme
masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri
merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara
kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda
intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di
masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau
organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing.
Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini,
selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural
tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat
tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas
kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas
keagamaan mereka.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka
sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan
partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia.
Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami
kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada
masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya
berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai
efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut
Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum
mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik
umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor
yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga
disebut sebagai problema politik Islam.
Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam
tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang
disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.
Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan
untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam
maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan
terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.
Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai
Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara
menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara
partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain
yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam
saja yang ikut dalam pemilu.
Perubahan Politik Islam
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut
perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara
signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan
pasca 90-an.
Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan
hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua
adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah
haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang
mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok,
Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya
telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru
berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan
pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam
tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin
segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk,
Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya
peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan,
pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan
birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru:
politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival
kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada
waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa
menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap
sebagai mitra.
Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung
besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara
tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya
untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa
tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa
halangan.
Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama,
bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran
keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua,
adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi
hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya
meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut.
Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam
terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan
situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang
lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa
membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk
mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini (2002)
umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan
riil yang kita lihat.
Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang
berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses
verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah
melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan
mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian
mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang
bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam
sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan
apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun
dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam
itu adalah agama politik.
Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas
penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung,
yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain,
kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat
memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam
bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari
dukungan.
Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam
bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan
pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia
bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak
jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh
preferensi politik yang bersangkutan.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna
beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti
telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen
ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain,
Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak
pada sifat Islam yang omnipresence. Ini merupakan suatu
pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan
panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia.
Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa
Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti
firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an."
Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat
bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian
dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".
Kesimpulan
Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam
sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun
tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan
konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka
diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar
kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok
kepentingan politik majemuk.
Referensi:
- Repolitisasi Islam, Bakhtiar Effendy
- Islam Idiologi, Ir. Ismail Susanto
- Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Prof. Dr. Din Syamsudin
- Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi